Tadaaaaaa...!!
Ceritanya udah paginya nih.. Rabu pagi..
Jam 5 subuh kami bangun, siapa duluan bangun harus nelepon ke kamar sebelah buat ngebangunin. Dan pagi itu suami saya yang telepon temennya. Saya pun mandi.
Selesai mandi, shalat, dan beres-beres barang, pintu kamar pun saya buka.
"Waaah pagi-pagi berkabut, Bang", ujar saya kepada suami saya. Di Bandung saja saya sudah jarang liat kabut. Ini di tanah Sumatera yang katanya panas, pagi-paginya saya disambut kabut.
"Iya, kabut asap itu", jawab suami saya.
"Oooooh........", saya gagal girang. Ternyata ini kabut asap yang sedang heboh di pemberitaan.
Kala itu kabut memang terlihat, udara sekitar agak putih. Tapi tidak terlalu tebal dan jarak pandang pun masih jauh, jadi perjalanan kami tidak terhalang oleh kabut. Setelah sarapan roti semenel alias saeutik alias sedikit dan teh manis yang sudah disediakan oleh pihak hotel dan di simpan di teras masing-masing kamar, kami pun mengangkat kembali barang-barang ke dalam mobil. Mobil yang kami pakai adalah mobil Jazz, bukan bermaksud iklan apalagi promosi ya, tapi mobil Jazz ini memang favorit saya. Selain bensinnya yang ga boros selama perjalanan, bagasinya juga lapang, koper gede 1 biji, 2 tas carrier sedang, 1 koper jinjing kecil, 1 dus indomie berisi, dan kresek-kresek berisi makanan, semua berkawan di dalam bagasi, ga ada yang berantem rebutan tempat. Hehe. Mobil kecil tapi luas, itulah Honda Jazz. *siapa tau ada yang mau bayarin itung-itung ngepromosiin. Hihi.*
Pengemudi pertama perjalanan selanjutnya menuju tujuan Padang adalah suami saya. Pagi-pagi begini, pemandangan pinggir jalan banyak anak-anak sekolah yang mau berangkat sekolah. Tapi jangan banyangin di jalanannya rame, engga, disini banyaknya orang pada jalan kaki, tapi ada juga beberapa yang naik motor. Pengemudi motor di jalan lintas sumatera ini jangan harap keselamatan deh kalo berani-berani belaga bawa motor di tengah jalan dengan kecepatan yang lambat, apalagi becanda-becandaan di jalan, yang ada malah keserempet mobil, bis, truk yang jalannya pada kencang. Di jalan lintas sumatera ini rata-rata kendaraan melaju di kecepatan 80km/jam atau lebih. Suami saya atau 2 orang temannya aja bawa mobil bisa sampe 100km/jam. Padahal ini bukan jalan tol. Gimana engga?! Kondisi jalannya aja kayak begini :
Mantep kan jalannya.....sama kayak jalan tol. Bebas hambatan.
Foto di atas itu waktu perjalanan kami dari sarolangun menuju Muara Bungo, tapi rata-rata sebagian besar yang namanya Jalan Lintas Sumatera ya kayak gitu. Buat pejalan kaki yang mau nyebrang berasa nyebrang di jalan tol. Pengendara motor dijalan lintas sumatera udah biasa, mereka pasti berkendara di sisi pinggir jalan dan berkali-kali didahului mobil-mobil yang lewat. Kalo ga kuat bisa-bisa orang sama motor-motornya terbang kebawa angin dari bus/truk yang melaju kencang, trus nyangsang di pohon. Hehe. *cari sendiri arti 'nyangsang', B.Sunda mah gitu, kalo diartiin ke B.Indonesia suka jadi ga lucu*
Tuh liat... Ga ada mobil yang lewat dari arah sana aja motor yang lagi melaju tetep di jalurnya, jalur sisi jalan, ga ada yang berani melaju di tengah.
Diliat dari ketiga foto di atas, ya rata-rata kayak gitu pemandangan sepanjang jalan lintas sumatera. Sisi kanan-kiri hutan, kebayang kan kalo jalan malam apalagi di tempat yang katanya rawan bajing loncat. Tapi pemandangan kayak gitu jauuuuh beda sama pemandangan di P. Jawa. Saya ngerasa di tempat berbeda (lah kan emang iya), beda suasana, beda situasi, beda pulau. Ya iya lah hzzzzz........
Maksudnya gini lho, selama ini saya di P. Jawa terus, mulai dari SD di Bandung terus, paling sesekali keluar kota. Selama bertahun-tahun itu-itu aja pemandangan yang saya lihat, itu-itu aja hal-hal yang saya lihat. Seolah-olah memang cuma itu yang Allah ciptakan, seolah-olah memang cuma itu bentuk-bentuk pemandangan yang ada. Tapi setelah pergi ke tempat yang lebih jauh ini, mata saya dan hati saya jadi terbuka. Selama ini saya hanya lihat foto atau baca tulisan tentang keindahan alam di luar sana, nyatanya tidak semenarik saat kita benar-benar melihatnya dengan mata kepala kita sendiri. Saat perjalanan merantau ini, saya baru hanya melihat jalan panjang lurus terbentang dengan sisi kanan-kiri kebun sawit saja hati saya sudah gembira, gembira melihat hal yang berbeda, gembira bisa melihatnya dengan mata sendiri, dan gembira menyadari kalo saya sedang diperjalanan ke tempat yang jauh. Allah menciptakan banyak perbedaan di setiap tempat yang Dia bentuk. Saya gembira dan bersyukur diberi kesempatan merantau dengan perjalanan yang panjang. Walaupun hanya dari Bandung ke Medan, yang sebenarnya terhitung masih dekat bila dibandingkan dengan orang-orang lain yang sudah ke luar negeri atau ke daerah di Indonesia yang jaraknya lebih jauh, tapi kalo saya hanya menganggap hal ini hanya hal biasa, bagaimana saya bisa bergembira?! Bahagia itu sederhana, nikmati dan syukuri hal yang kita dapat sekecil apapun, maka hati pun akan dengan sendiri nya merasa gembira.
Tak terasa sudah tengah hari, kami sudah memasuki kota Solok, Sumatera Barat. Solok bagaikan kampung halaman bagi saya. Saya TK di Solok. Ingatan saya hanya segitu, hanya ingat kalo saya TK di Solok, tempat tinggal bersebelahan dengan TK saya, dan tempat dinas Bapak bersebrangan dengan tempat tinggal kami. Bapak saya seorang TNI-AD, dan saat itu sedang bertugas di Solok. Sesampainya di perbatasan Kota Solok hati saya dag-dig-dug seperti genderang mau perang. Hehe. Iya lho, rasanya gimanaaaa gitu, seneng bercampur terharu bisa kembali lagi kesini. Lagi-lagi ini berkat merantau. Saya siap-siap memegang HP siapa tau perjalanan kami melewati Jl. A.Yani. Saya ingat sekali dulu rumah saya di Jl. A.Yani, bila benar ternyata jalan tersebut kami lewati, saya mau foto semuanya, kantor dinas Bapak, rumah tinggal kami dulu, dan sekolah TK saya. Yipiii..!
Saya terus memperhatikan nama jalan, tidak ada nama jalan yang saya ingat selain Jl. A.Yani, harap-harap cemas aja yang ada. Kami sempat nyasar di daerah Pasar Solok, bingung arah kemana yang harus kami ambil untuk menuju ke Bukittinggi. Bingung-bingung liat Google Map, lebih bagus tanya orang pinggir jalan aja. Setelah mendapat petunjuk arah kami pun lanjut jalan. Tak lama setelahnya, saya melihat plang jalan yang bertuliskan Jl. Ahmad Yani. Bukan hanya saya yang excited, suami saya dan 2 orang temannya pun seketika siaga mencari komplek tentara. Sambil senyum-senyum sendiri, tangan saya sudah siap memegang Handphone yang kamera nya sudah siaga. Teman suami saya yang sedang mendapat giliran menyetir pun segera memperlambat laju kendaraan saat ternyata kami sedang melewati Kawasan Militer. Jepret... jepret.. jeprut.. Hehe. Saya foto semua sambil lewat. Kami ga berani berhenti pinggir jalan trus foto-foto, karna ini di kawasan militer dan ada penjaganya. Tak puas memotret dari satu sisi, teman suami saya pun memutar balik lagi mobil ke arah berlawanan. Jepret... jepret.. Wuhuuuuu... itu tempat tinggal saya semasa kecil! begitu seruan di dalam hati saya.
Secara berurutan dari atas ke bawah, itulah rumah saya dulu, sekolah TK saya, dan kantor dinas Bapak saya. Bahagianya bisa kembali lagi kesana, walaupun hanya melihat dari jauh.
Setelah mobil berbalik arah lagi ke arah jalan yang benar, kami pun melanjutkan perjalanan. Menuju Danau Singkarak, Sate Padang Mak Syukur, dan Air Terjun Lembah Anai. Memasuki wilayah Sumatera Barat ini kami mulai menyisipkan rekreasi di dalam perjalanan. Hehe. Tak ada lagi hitung-hitungan jam berapa harus jalan dan jam berapa harus sampai ke tujuan. Kalo daerah sini InsyaAllah jalanan sudah aman. Ya setidaknya karena tujuan kami sampai Padang dulu dan menginap di sana.
Sampai di tempat rekreasi pertama, kami singgah di tepi Danau Singkarak untuk makan sekalian shalat sambil menikmati danau yang bercampur kabut, jadi sedikit tidak keliatan ujung danaunya.
![]() |
-Foto dengan latar belakang Danau Singkarang, sekitar jam 1 siang- |
Selesai makan, shalat dan ngeliat buaya, kami pun melanjutkan perjalanan. Ya, ada buaya kecil di pinggir danau dekat tempat makan yang kami singgahi, dengan takut-takut kami perhatikan terus buayanya. Untungnya posisi tempat makan berada di atas, jauh dari air, dan buaya tersebut ada di air. Saat sibuk-sibuk memperhatikan buaya tersebut, datang seorang pelayan tempat makan, dan berkata :
"Itu biawak bukan buaya"
Kami pun kembali ke tempat duduk dalam diam, menanggung malu sudah heboh-heboh bilang ada buaya. Hihi.
Tujuan kami berikutnya adalah air terjun Lembah Anai, dan tibalah kami ke tempat tersebut setelah sebelumnya sempat singgah lagi di tempat makan (makan lagi). Sate Mak Syukur emang ga boleh dilewati gitu aja kalo kita lagi ke Bukittinggi karena ini tempat sate padang yang asli dari kampung halamannya.
Kami memberhentikan mobil dan turun untuk melihat air terjun Lembah Anai. Tanpa turun pun sebenarnya air terjunnya sudah terlihat, karena memang terletak persis di pinggir jalan yang kami lalui. Tapi rasanya kurang afdol tanpa memegang airnya.
![]() |
-Beginilah kira-kira letak air terjunnya (Gambar dari Mbah Google)- |
Sampai ke dekat air terjunya dengan sebelumnya kami membayar uang kebersihan dengan tarif masing-masing orang Rp 2.000,-, kami bermain air dan foto-foto. Sampai akhirnya teman suami saya si Mawar itu mau kembali ke mobil untuk mengambil pakaian. Ternyata dia kepingin berenang. Nanggung kalo sudah jauh-jauh kesini ga berenang katanya.
Saya sih ga ikutan berenang, duduk-duduk aja di batu sambil liatin mereka bertiga berenang. Harusnya mereka berenang, saya foto, ada 3 orang ya di dalam foto. Tapi ini (lagi-lagi) gara-gara si Mawar menghilang, jadi ga kefoto sama saya. Usut punya usut, ternyata dia lagi nyelam, nyoba berenang dekat ke air terjunnya. Coba perhatikan fotonya dengan seksama. Itu ada ternyata dia si Mawar di deket air terjun pake baju merah. Itu lhooo sebelah bagian kiri foto, alias sebelah kanannya air terjun. Ada kan?! Emang unik temen kita yang satu ini. Hihi.
Tak terasa, berenang, trus bersih-bersih di kamar mandi umum, ternyata waktu sudah menunjukan pukul 5 sore (sekitar). Kami lanjutkan perjalanan ke Padang, istirahat dan bermalam disana. Perjalanan ini memang sedikit memutar, karena sebenarnya kalo mau ke Medan itu langsung saja dari Bukittinggi jalan ke arah Medan. Kalo ke Padang dulu sama saja dengan balik arah. Tapi karena salah satu saudara teman kami ada yang tinggal di Padang, kami pun akan singgah dan bermalam di rumahnya.
Begitulah perjalanan memutar kami. Tapi sampai saat ini tidak ada terasa capek di badan kami. Suami saya yang biasanya kalo pergi jauh dan menyetir mobil sendiri bisa bolak-balik minta dipijitin, kali ini engga. Katanya ga terasa capek. Kami menikmati perjalanan panjang ini.
Sekitar jam 7 kami sampai di kota Padang, berkeliling kota padang, mampir di tempat oleh-oleh beli keripik balado Christine Hakim titipan mertua dan liat-liat jembatan Siti Nurbaya yang penuh dengan lampu. Saya tidak bisa foto saat itu, karena memang kami tidak berhenti, hanya lewat saja. Dan hari pun sudah gelap, maklum HP jadul kalo moto yang gelap-gelap hasilnya bener-bener gelap. Haha.
Jadi sebagai gambaran saya ambil gambarnya dari Google aja nih ya.
Udah jam 9an malam kami pun menuju rumah yang akan kami inapi. Letak rumah saudara teman kami ini sangat unik. Terletak di sisi bukit yang rumah-rumahnya berjejer ke atas. Garasi rumah saudara teman kami ini ada di pinggir jalan persis, tapi kalo mau masuk ke rumahnya, kami harus naik tangga dulu. Begitu terus, masih banyak rumah-rumah lain yang ada di atasnya. Kebayang ga seberapa sehatnya orang-orang yang tinggal di daerah itu. Naik-turun tangga kalo mau pergi dari rumah dan pulang ke rumah. Hehe.
Dan malam ini kami pun beristirahat, tidur cepat untuk siap-siap besok dengan perjalanan panjang Padang - Kelok Sembilan - Bukittinggi - jalan-jalan di Jam Gadang - Medan non stop tanpa ada menginap-menginap lagi.
*beristirahat di kota Padang*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar