Kamis pagi jam 5 subuh kami sudah sibuk kembali beres-beres barang bawaan. Sarapan roti dan teh manis sudah cukup untuk kami, karena sehari-hari memang terbiasanya seperti ini. Tapi kali ini rotinya besar-besar. Hehe.
Hari ini rencana kegiatannya adalah jalan-jalaaaan!! Yihiiii... Ga itung-itung waktu lagi deh, hari ini pokoknya main dulu di pantai, trus ke Bukittinggi, abis itu baru lanjut sampe Medan.
Pamit dengan yang punya rumah, kami pun langsung tancap gas ke Pantai Padang. Katanya di sini ada tempat nongkrong yang rame kalo malem-malem, namanya 'taplau' ya kalo ga salah. It's mean tapi lauik alias tepi laut. Jadi sepanjang tepi laut itu ada tempat makan seafood. Kemarin malem kami maunya sih kesana, makan malem disana, tapi ga jadi. Ga tau tempatnya dan udah males nyari, bawaan udah pengen bobok aja. Hehe
Perjalanan ke laut di Padang ini ga perlu berlama-lama, toh pantai nya ada di Kota. Asik banget! Tiap hari bisa deh ke pantai, ga kayak di Bandung mau ke pantai harus keluar kota dulu. Bahkan di Pantai Padang ini banyak yang olahraga pagi sampe pacaran pagi-pagi. Hihi.
Fotonya itu saya ambil dari Google aja biar keliatan seperti apa letak pantai di Padang. Jelas kan, pantainya di pinggir jalan, jalan raya! Mumpung masih pagi, masih sepi, kami pun parkir di pinggir jalan dan langsung santai-santai di pinggir laut. Main pasir, main air, sampe main perasaan. #eh
Begitulah kalo main di pantai bawa perasaan, fotonya sok-sok romantis keliatan kakinya doang berdua kena air laut. Padahal siapa yang tau jangan-jangan itu air busa cucian baju. Hehe. Engga ah itu beneran air laut kok.
Kami bukan orang-orang yang maniak foto-foto sebenarnya, makanya minim banget jumlah foto yang kami punya. Kami lebih senang menikmati apa yang kami lihat, mengingat dalam hati, dan menyimpannya sebagai kenangan. #eaaa
Setelah puas liatin laut yang padahal isinya air doang, kami pun cuci kaki trus bobok. Eh engga, cuci kaki trus masuk mobil, lanjut perjalanan ke Kelok sembilan. Sebelum ke Jam Gadang dan menuju Medan, kami ingin mampir dulu ke kelok sembilan, sekedar ingin melihat jembatannya yang baru dibangun. Katanya sekarang ga harus lewatin kelok sembilannya yang kecil dan belok-belok itu lagi. Udah bisa lewat jembatan yang lebih tenang dilewati.
Itu dia jembatannya di atas. Liat lewat foto doang mah biasa, tapi kami disana sambil ngemil-ngemil popmie bisa betah liatin pemandangan di daerah situ.
Ga lama setelah makanan dan minuman hangat kami habiskan, kami sempat foto-foto dulu. Saya dengan suami saya seharusnya punya foto berdua dengan latar belakang jembatan kelok sembilan. Tapi, setelah di mobil saya liat fotonya ternyata teman suami saya itu malah mem-video saya dan suami, sepertinya salah tekan waktu tadi moto. Huuuuuuu....
Iyaaa.. kelakuan si Mawar itu.
Kami pun melanjutkan perjalanan ke Jam Gadang, Bukittinggi. Dari Padang ke Bukittinggi kira-kira sekitar 2 jam.
Sepanjang jalan ke Bukittinggi banyak banget saya liat rumah-rumah yang atapnya ciri khas Padang banget. Rumah Gadang. Sisi atapnya runcing, barangkali rajin di serut, kebayang pengserutnya sebesar apa. Hehe.
Itu salah satu rumahnya. Lagi-lagi saya cari di Google aja, toh saya sepanjang jalan boro-boro kepikiran moto, yang ada terkagum-kagum liat rumah yang keren-keren bentuknya. Saya mah bangga lho tinggal di Indonesia yang beragam adat, suku, dan bahasa. Banyak hal unik dan ga biasa kalo kita pergi keliling Indonesia. Ngejalanin perjalanan di satu sisi sepanjang Pulau Sumatera aja banyak hal yang berbeda, apalagi kalo pergi ke pulau-pulau lain di Indonesia. Bikin saya ga sabar dikasih kesempatan buat traveling lagi. #visitindonesia #WonderfullIndonesia
Rugi kalo tidur di jalan, saya tetap membuka mata liat kanan-kiri, depan-belakang, atas-bawah, giliran liat bawah ternyata mobil banyak pasir dari pantai tadi.
Sesampainya di Jam Gadang, Bukittinggi kami berempat bubar jalan. Jalan masing-masing ke keperluannya masing-masing. Tapi saya sih berdua suami. Hehe. Kami sibuk cari WC. Hadeeeeh...
Keliling pasar yang rame di sekitar Jam Gadang, kami ga juga nemu WC nya, tapi akhirnya malah ketemu masjid. Kami pun sekalian shalat.
Sehabis itu saya dan suami pun langsung mencari tempat makan nasi kapau yang diceritakan saudara suami ada di pasar tersebut dan tempatnya memang khusus banyak yang menjual nasi kapau. Letaknya agak ke dalam dan di bawah katanya. Saat itu saya tidak tau persis apa itu nasi kapau, setau saya sih ya nasi padang seperti yang biasa saya makan.
Begini cara penyajian nasi kapau, masakan-masakannya disajikan di baskom-baskom, tar kalo kita pesan pake apa aja, si uni nya yang ngambilin pake sendok yang gagang nya panjang itu. Dibuat panjang biar bisa ambil lauk yang terletang di tangga paling bawah (seumpamanya aja, abis bentuknya kayak tangga). Meja makan kami letaknya di anak tangga yang bawahnya lagi, sekeliling itu lah tempat makannya.
Ternyata katanya nasi kapau ini ada perbedaannya dengan nasi padang di rumah-rumah makan masakan padang. Nasi kapau penyajiannya berbeda dan cara masaknya pun berbeda. Silahkan searching sendiri bedanya seperti apa, trus tar kasih tau saya ya. Hihi.
Saya dan suami lahap memakan nasi kapau ini, memang rasanya berbeda dengan masakan padang yang biasa saya makan. Gimana perbedaannya? Cuma lidah saya yang bisa menjelaskan, sayangnya lidah saya ga bisa bicara buat nyeritainnya. Wekekek.
Selesai makan dan kenyang (alhamdulillah), saya dan suami pun jalan-jalan. Hah heh hoh jalan-jalan disini, banyak tangganya. Sampe terakhir kami di pinggir pasar, kami lihat ada anak tangga yang bejibun jumlahnya di bawah kami, dan dibawah itu jalan raya yang tadi kami lewati waktu menuju ke Jam Gadang. Suami saya mengajak saya untuk turun menyusuri tangga tersebut, dan saya pun mengiyakan. Kami turun ke bawah sambil bercerita ini itu, sesampainya di bawah kepala kami liat kanan liat kiri, ga tau apa yang diliat, paling mobil lewat.
"Yauda yuk", seru suami saya.
"Ayok", saya jawab sambil berjalan hendak menyusuri trotoar pinggir jalan, lalu heran melihat suami saya malah balik badan. "Kemana?', tanya saya.
"Ya balik lagi.", jawabnya.
"Balik lagi kemana??", saya heran dan mulai ada perasaan tak enak.
"Ya ke atas"
Huaaaaaaa...... ternyata saya harus menyusuri anak tangga yang bejibun tadi lagi. Saya kira kami kembali ke tempat semula lewat pinggir jalan ini, tapi kata suami kalo lewat situ jalannya lebih jauh. Ya sudah saya pun ngikut aja. Daripada ditinggal.
Begini nih pemirsa tangganya. Kalo diliat doang sih bagus, tapi coba deh jalanin. Modyaaar.....
Sampe atas saya istirahat dulu, lagak-lagak nya pengen liat pemandangan ke bawah dari atas dulu, padahal lagi ngatur pernapasan. Hehe.
Selesai jalan-jalan, kami pun menuju Jam Gadang untuk foto-foto. Sesampainya di Jam Gadang kami bingung karena mau foto berdua tapi ga ada yang motoin. Akhirnya kami minta tolong sama mbak-mbak yang ada disana (lagi foto-foto juga). Mau tau hasilnya?
Judulnya kami nih kan foto di Jam Gadang, tanpa perlu dikasih tau juga pasti mbak-mbaknya udah ngerti kan maksudnya mau difoto berarti dengan latar belakang Jam Gadang. Eh, ini malah jamnya dikit pun ga keliatan. Ampyuuun deeeh. Bikin pengen ngakak. Sambil jalan pura-pura udahan difoto, kami pun senyam senyum nginget kelakuaan si mbak. Hihi.
Suami saya pun menelpon temannya yang ternyata sudah pada ada di parkiran. Rugi kalo udah di sini tapi ga ada fotonya, kami pun minta tolong teman suami untuk motoin. Kembalilah kami berempat ke tempat Jam Gadang tadi. Taadaaaaa... hasil fotonya pun ada Jam Gadangnya. Hihi.
Apa yang salah dari jam yang ada di Jam Gadang ini? Hayo siapa yang tau? Ga tau memang salah atau ada pemikiran lain waktu dulu bikinnya, saya liat angka 4 di jam ini seharusnya tidak ditulis seperti itu. Coba kalian cari dan liat sendiri, salah atau tidak tulisannya.
Tidak terasa, sudah jam 3 sore saja ternyata. Tiga orang supir alias suami saya dan 2 orang temannya saling bertanya kesiapan untuk melanjutkan perjalanan langsung ke Medan, tanpa menginap lagi. Dan ketiganya pun siap.
Kira-kira 18 jam perjalan itu artinya kami kemungkinan besar akan sampai di Medan jam 9 pagi. Kami tidak lewat Pekanbaru, dari Bukittinggi kami langsung ke arah Kotanopan. Perkiraannya seperti gambar di atas.
Kabar punya kabar dari saudara yang beberapa minggu lalu dari Padang menuju Medan, jalanan di daerah Sipirok (lagi-lagi) rusak. Jalanan ini katanya memang sudah terkenal selalu rusak, khususnya daerah Aek Latong. Tekstur tanahnya yang suka turun menyebabkan jalanan pun ikut turun, dan rusaknya ga kira-kira, jalan aspal bisa jadi kayak anak tangga. Saya was-was sekaligus penasaran mendengar ceritanya. Apalagi kalo dihitung-hitung kami sampe daerah sana pasti malam hari. Kebayang kan jalanan rusak, gelap, dan sepi.
Sekitar jam 8 malam kami sampai di Kotanopan, jalanan disini mulai kecil dan agak rusak. Katanya karena udah masuk wilayah Sumatera Utara, banyak jalan rusak. Di daerah Kotanopan kami mencari rumah makan yang bisa disinggahi, harus hati-hati takutnya ada masakan B1 B2. Apa itu? Masakan yang tidak halal untuk kami yang beragama Islam.
Teringat dengan bus ALS yang katanya punya pos di Kotanopan, kami pun perlahan mencari rumah makan tersebut, dan benar saja ada. Walaupun tidak ada bus ALS yang sedang parkir disitu, tapi ada plang besar bertuliskan PT. ALS. Kami pun makan dan shalat di tempat itu. Sambil sedikit bersantai kami makan di sini, mengobrol ini itu, seraya melepas lelah.
Lanjut perjalanan, suami saya sedikit merasa ngantuk dan minta untuk bertukar menyetir. Ia minta dibangunkan kalo sudah sampai di daerah yang jalanannya rusak parah, dan katanya akan menyetir mobilnya sendiri melewati jalanan tersebut.
Saya sedikit was-was kalo belum melewati jalanan yang rusak itu, karena katanya dari pandangan kita di dalam mobil, jalanan di depan itu seperti hilang, bikin kita ga tau harus ambil jalan sebelah mana. Apalagi ini malam-malam, mana ada yang jaga di jalanan buat ngatur jalan kan. Oya, tadi sebelum sampai tempat makan, masih di daerah Kotanopan, saat adzan isya berkumandang saya liat di pinggir jalan banyak sekali anak-anak muda bahkan anak kecil yang berpakaian siap untuk shalat. Ternyata mereka sedang berbondong-bondong ke masjid. Sejuk sekali pemandangannya. Dan tak jauh dari situ, saya liat ada pesantren. Pesantrennya bagus, besar. Situasinya terasa beda jauh dengan situasi di kota besar.
Sudah makan, kenyang, tinggal ngantuknya. Saya pun tertidur saat suami saya sedang giliran membawa mobil. Tadi, belum sampai ke jalan yang rusak suami saya sudah bangun dan minta gantian bawa mobil. Tak lama saat saya masih tertidur sayup-sayup terdengar suami saya dan teman-temannya sibuk di dalam mobil. Ternyata jalanan yang 'hilang' itu sudah di depan mata. Wow! betul sekali, jalanan di depan tidak terlihat. Saya was-was. Sampai akhirnya dari arah berlawanan muncul mobil bus kecil yang biasa lewat situ, kami berhenti dan memperhatikan kemana arah mobil itu melaju. Dengan keadaan jalan yang memang kosong, bus tersebut dengan leluasa mencari jalan yang bisa dilewati. Pelan-pelan ia pilih jalan, sempat tidak terlihat oleh mata kami, dan tiba-tiba mobil tersebut muncul dari arah sebelah kanan kami. Oh kesitu lewatnya, pikir kami. Suami saya pun mengarahkan mobilnya ke jalur sebelah kanan dan memajukan mobilnya. Betul saja, jalan sebelah situ turunannya yang bisa dilewati, dengan perlahan melewatinya, saya duduk berlutut di atas jok untuk melihat jalan di depan. Kami tersenyum seolah-olah ini tantangan yang bisa kami lewati. Hebaaat!
Namun jalan rusaknya belum selesai. Dari belakang ada mobil minibus yang hendak menyalip kami, mobil tersebut sibuk memberi lampu untuk diberikan jalan menyalip mobil kami, dan suami saya pun memberi jalan. Ternyata itu mobil rental yang juga biasa lewat ke daerah itu. Mobil itu menyusul ternyata dengan niat yang baik, ia ingin memberi tau kami jalan mana yang harus kami ambil untuk dilewati, mobil tersebut menyalakan lampu hazard, yang artinya kami harus ikuti dia. Dan betul saja, mobil minibus tersebut membawa kami ke arah-arah jalan yang bisa dilewati. Karena kalo salah arah sedikit saja, mobil kami bisa nyungsep. *Silahkan cari what is the meaning of 'nyungsep'. Hehe*
Alhamdulillaaaah.. Legaaaa.. Akhirnya jalanan rusak parah itu sudah bisa kami lewati. Ini pengalaman baru lagi. Sangat menantang nyali. Walaupun jalan setelahnya rusak juga, tapi masih lumayan, cuma lobang-lobang kecil di jalan. Sekarang tinggal kuat-kuatin mata buat yang nyetir, ngantuk dikit cepet-cepet minta gantian. Kalo saya sih liat kanan-kiri hutan, jalan kecil, gelap, tengah malam, mending saya tidur aja deh lanjutin yang tadi, toh pemandangan juga ga ada.
Suami saya sangat kuat kalo sudah jalan malam, katanya kalo jalan malam yang penting sudah tidur sebentar, mata akan kuat karena kalo malam mata akan lebih fokus perhatiin jalan, jadi ga ngantuk. Sampe subuh suami saya yang bawa, saat itu di daerah Tarutung sampai Toba berkabut. Bukan kabut asap, tapi kabut-kabut pagi hari. Disana memang daerahnya agak dingin. Mau liat Danau Toba sambil jalan jadi ga bisa, karena tertutup kabut. Sesaat setelahnya kami sampai di daerah Siantar. Agak sulit mencari masjid karena lebih banyak gereja yang kami lihat, akhirnya ada satu masjid yang sepertinya baru dibangun karena temboknya belum sepenuhnya dicat. Kami pun berhenti dan shalat subuh di sana.
Karena masih subuh, kami menunda untuk sarapan dan langsung saja melanjutkan perjalanan. Saat itu saya lihat suami saya dan 1 orang temanya sudah mulai cepat ngantuk. Setiap saat diingatkan untuk tidak memaksa perjalanan bila ngantuk, hati-hati jangan sampe salah langkah karena merasa sudah dekat ke tujuan akhir dan ujung-ujungnya jadi mau buru-buru. Teman suami saya yang 1 lagi kehilangan dompet saat di Jakarta, alhasil SIM dan KTP nya pun hilang, jadi saat perjalanan ia tidak banyak menyetir, apalagi sudah masuk Sumatera Utara, takut-takut malah kena tilang polisi.
Dengan sabar menyetir, lagi-lagi jangan sampai terburu-buru, kami pun memasuki wilayah Rampah. Kami sudah dekat dengan Medan. Singgah sebentar di daerah Perbaungan untuk sarapan, kami mengobrol ini itu, tentang perjalanan yang kami lewati. Ada rasa senang, bangga, bahkan terharu yang menyelimuti kami. Kami adalah orang-orang yang belum pernah menyetir sendiri mobil dalam perjalanan jauh dari Bandung ke Medan. Mengumpulkan informasi ini itu dari sana sini, akhirnya kami bisa menjalaninya. Perjalanan lintas sumatera ini bukan perjalanan biasa, banyak yang harus dipersiapkan dan diperhitungkan. Harus siap dengan kelengkapan mobil mulai dari APAR, P3K, Segitiga Pengaman, sampai kalo bisa ada senjata tajam untuk jaga-jaga kalo ada pengganggu dari pinggir jalan yang memberhentikan paksa mobil kita. Tapi Alhamdulillah kami lancar menjalani dan melewati perjalanan panjang ini. Tidak ada lelah kami rasa, tidak ada kata 'tidak mau lagi'. Kami malah ketagihan dan berencana lanjut ke Aceh untuk memenuhi perjalanan satu Pulau Sumatera, dari bawah sampai yang paling atasnya.
Akhirnya kami sampai ke tujuan kami, Medan. Kota kelahiran suami saya dan juga teman-temannya. Berangkat Senin siang dari Bandung, sampai Medan Jumat pagi. Jabatan tangan perpisahan menjadi ikatan bagi kami. Tidak hanya sampai di sini saja, kalo diberi kesempatan lagi, ayo kita rencanakan perjalanan seru lainnya!!
*jangan takut merantau, karena saat kembali ke rumah kamu akan menjadi pribadi yang berbeda. Berbeda seperti apa? Silahkan coba dan buktikan sendiri*
Salam merantau !!
"Terima kasih sudah membaca"
----THE END---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar