Rabu, 25 November 2015

"Change is never easy"


Kalian tau? Rindu paling menyiksa itu adalah rindu yang tak tersampaikan. Bahkan kalaupun disampaikan, orang yang dirindu ga tau apa itu rindu, apa itu kangen.

Mereka bukan anak saya, tapi dari bayi baru lahir saya tau mereka. Saya paling senang mengajak mereka bermain, saya paling senang jailin mereka sampe nangis, walau sampe nangis, mereka tetap selalu mencari saya, hal yang bikin saya ngerasa jadi orangtua kedua mereka. Kata-kata 'auntytan mana', 'auntytan main yuk', 'masih pengen sama auntytan' (sambil merengek) yang terucap dari mulut mereka adalah yang paling saya kangenin karena itu yang selama ini menjadi penghibur hati saya.

But, life is changing everyday.

Baru masuk SD tiba-tiba udah mau lulus SMP, trus masuk SMA, tiba-tiba ga kerasa udah harus kuliah. Perbedaannya waktu SD, SMP, SMA, ga pernah terbesit 'pengen epet-cepet lulus', tapi waktu kuliah (apalagi udah mau semester akhir) bawaannya pengen cepet-cepet lulus, trus kerja. Mungkin pengaruh dari banyak yang nanya 'kapan lulus?'. Padahal belum tau aja kalian kan setelah itu bakal ada pertanyaan 'kapan nikah?' dan itu lebih horroooor... Bisa bikin kalian yang tadinya 'jual mahal' sama lawan jenis, jadi 'big sale'.. Hehe.. Ga ah, intinya mah namanya jodoh ya Allah yang nentuin.

Kehidupan saya terasa sangat berubah setelah bapak 'pergi' ga bilang-bilang. Jam 3 sore, hari Kamis, saat bapak lagi baru mau dioperasi pasang ring, mamah tiba-tiba nelpon dan cuma bilang kalo bapak pingsan. Saya waktu itu lagi di kantor, masuk kantor, karena kata bapak operasinya bukan operasi besar pake dibedah-bedah, cuma pasang ring dari pembuluh darah di selangkangan, jadi saya tetep masuk kerja aja baru tar pulangnya liat bapak. Bolak-balik saya telepon mamah ga diangkat, ga diangkat terus sampe akhirnya HP nya ga aktif. Saya kelimpungan. Bingung. Karena niatya memang mau ke RS setelah pulang kantor, nunggu si pacar jemput. Tapi setelah dihadapi situasi kayak gini saya jadi kelimpungan sendiri.
"Abang dimana? Tadi mamah nelepon katanya bapak pingsan. Yuk kita ke RS sekarang aja yuk", akhirnya saya telepon pacar saya untuk minta jemput sekarang aja.
"Bentar lagi ya, ada urusan dikit lagi. Nanti abis itu langsung kesana.", jawab nya.
Saya tutup teleponnya, tidak bisa diharapkan. Saya segera menelpon teman sekantor saya yang sudah pulang duluan. Kantor saya dan RS jaraknya agak jauh kalo dijalani pake angkot, beda dengan kalo naik kendaraan pribadi. Teman saya yang saya telepon bawa motor ke kantor setiap harinya, makanya saya langsung telepon teman saya. 2x di telepon tidak diangkat, saya tau dia sedang di jalan, saya coba lagi, dan akhirnya diangkat. Saya ulang percakapan tadi ke temen saya, Alhamdulillah tanggapannya lebih memberi harapan. Kami janjian di perempatan dekat kantor, teman saya akan putar arah untuk menjemput saya. Kebetulan sekali, tempat yang sedang ia tuju searah dengan arah ke RS.

Sesampainya di depan RS, gatau itu depan, belakang atau sampingnya, pokoknya di pintu gerbang masuk RS, saya turun dari motor teman saya. 
"Si Abangnya mana?", tanya teman saya.
"Nanti kesini nyusul, lagi ada keperluan dulu.", jawab saya.
"Yauda naik lagi aja, urang temenin weh.", serunya.
"Nanti kamu telat ketemu temennya", jawab saya.
"Ga papa, gampang. Hayu.", ajaknya lagi.
Akhirnya saya pun naik lagi ke motor dan motor melaju ke arah tempat parkir. Sebenarnya saya memang ingin ada temannya masuk ke RS itu.

Kami berjalan cepat ke arah kamar rawat bapak saya, lebih tepatnya ruang rawat khusus penanganan penyakit jantung. Setibanya di kamar itu, saya lihat kasur bapak saya masih kosong, yang ada di pikiran saya mungkin bapak saya masih dioperasi, lalu saya pun tanyakan ke perawat yang menjaga kamar tersebut. Perawat saat itu terdiam sejenak dan mulai berkata pelan dan lembut.
"Adek siapanya?", tanyanya.
"Saya anaknya.", jawab saya cepat.
"Memang belum tau?", tanya perawat itu lagi. Saat itu ada 2 perawat, yang satu yang berkomunikasi dengan saya, dan satu lagi hanya diam memperhatikan, begitu juga dengan teman saya.
"Iya tau, kan lagi di operasi, dimana ruangnya?", jawab saya.
Perawat itu diam cukup lama, sebelum berkata lagi.
"Bapak udah meninggal. Yang sabar ya.", seru perawat tersebut.
Tak pernah terbayangkan sebelumnya, perasaan seolah-olah waktu berhenti, telinga tak mendengar apa-apa, mulut terkunci, badan kaku, saya rasakan hari itu, saat itu, tiba-tiba, tanpa firasat apapun. Seketika saya tidak bersuara lagi. 'Bohong', hanya itu yang terakhir bisa saya ucapkan lagi, selebihnya saya ga tau apalagi yang perawat itu bilang, apa yang teman saya tanyakan, dan apa yang perawat itu jawab, saya hanya melihat mereka berbincang tepat di depan muka saya.

Badan saya terasa berat, saya melangkah mengikuti teman saya, katanya kami ke ruang operasi untuk liat keadaan bapak. Sesampainya di ruang operasi, saya mulai mampu bicara, saya tanyakan ke dokter yang lewat dimana bapak saya. Saat itu saya tidak menangis, tidak ada setetes pun air mata yang turun. Tak bisa saya perhatikan bagaimana wajah mereka, bagaimana wajah dokter-dokter tersebut saat mereka mengatakan bahwa bapak saya sudah di ruang jenazah. Saya langsung lari ke ruang jenazah, tak terbesit sedikit pun keinginan untuk marah kepada dokter-dokter tersebut yang sepertinya bertanggung jawab terhadap kesehatan bapak saya, ini takdir Allah, bukan salah siapa pun, ini ketentuan Allah, sudah digariskan sejak bapak saya lahir.

Saya tau betul letak ruang jenazah itu, berkali-kali saya ke RS ini, ke ruang rawat bapak saya, berkali-kali juga saya lewati ruang jenazah tersebut. Suatu kali bapak saya pun sempat bercanda menakuti saya tentang ruang jenazah itu, dan sekarang bapak sedang berbaring kaku di sana.
Di tengah jalan saya melihat abang ipar saya sedang berjalan menuju ruang jenazah, seketika saya memanggilnya, berlari ke arahnya, dan hanya bisa berkata, "Bapak, A...", sesaat air mata saya pun akhirnya keluar, tanpa henti, tanpa suara, tapi sakitnya di hati sangat luar biasa.

Handphone saya berdering, tak sanggup berkata apa-apa, saya serahkan HP saya ke teman saya.
"Manda, tolong pegang HP nya, kalo ada yang nelepon, jawab aja ya.", seru saya kepada teman saya tersebut. Saya sangat beruntung punya teman sepertinya. Kalo tidak ada dia mungkin saya sudah pingsan tadi.

Sampai di ruang jenazah, saya samperin langsung mamah saya, dan saat itu ternyata sudah ada kakak bapak saya di sana. Kami menangis, mamah saya lah yang merasakan sakit paling dalam pastinya. Bersama selama 38 tahun bukanlah waktu yang singkat, saya saja yang bersama dengan bapak selama 24 tahun saat itu, merasakan sakit yang luar biasa di dada. Seolah-olah saya kehilangan 'rumah', kehilangan penentu arah hidup saya. Saya lihat di sana bapak terbaring kaku, ditutupin kain sampai atas kepala, dengan wajah bagai tertidur pulas, tidak terlihat ekspresi kesakitan sedikit pun.

Tidak akan saya ceritakan panjang lebar, cerita singkat tersebut akan selalu menjadi bahan pembelajaran untuk saya. Bahwa hidup itu selalu berubah, orangtua yang selalu membela kita, membantu kita, sehingga kita merasa aman dengan dunia luar, tak akan abadi selalu ada dengan kita. Kalo kita tidak siap, dunia yang berubah malah akan menjadi 'musuh' untuk kita, padahal sebenarnya itulah saat nya kita untuk lebih tangguh dan kuat. Kita dihidupkan ke dunia ini seorang diri, di titipkan kepada orangtua, dan kelak akan diambil kembali. Jangan hanya persiapkan diri untuk kuat menjalani hidup di dunia, tapi persiapkan diri juga untuk kesendirian kita di akhirat nanti. Doakan terus orangtua yang sudah tiada, supaya nanti kita dipertemukan kembali oleh Allah. Aamiin.

Hari ini edisi lagi religius, gara-gara kangen orang-orang di 'rumah', kangen situasi di sana, kangen keponakan-keponakan. Trus menghibur diri sendiri, ujung-ujung nya jadi sok bijak. Haha.

Salam kangen (ga pake band)!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar